Monday, June 20, 2011

Ibu Selalu Tahu

Ibuku tidak bisa dibohongi. Dia selalu tahu apa saja yang terjadi denganku. Seperti waktu aku sedih dicampakkan Sinta, dengan lembut dan hangat beliau mengajakku bicara.

“Ada apa dengan kamu dan Sinta, Rengga?”

Kalau sudah begitu aku tidak bisa berbohong dengan mengatakan tidak ada apa-apa. Biasanya aku akan bercerita terus terang tanpa ada yang kusembunyikan lagi. Kuceritakan betapa suramnya hubunganku dengan Sinta.

Begitupun juga ketika Ibu menikah lagi. Beliau tahu kalau aku gundah, beliau tahu kalau aku resah dengan keputusannya.

“Rengga, Ibu hanya punya anak satu, yaitu kamu, laki-laki pula. Sekarang kamu pun sudah menginjak dewasa, sudah lulus SMA. Suatu saat kamu pasti akan pergi memboyong gadis impianmu menjauh dari Ibu. Nah, Ibu masih butuh seseorang untuk bisa mendampingi Ibu. Itulah mengapa Ibu memutuskan untuk menikah lagi.”

Aku hanya diam. Akhirnya aku menerima pernikahan itu.

Ibu menikah dengan pria yang lebih muda. Usia mereka berbeda hampir lima tahun. Ayah baruku belum sampai empat puluh tahun.

Kami tinggal bertiga. Cukup harmonis karena memang Om Danu orang yang baik. Yah, aku belum bisa memanggil Om Danu dengan sebutan paling sakral—Ayah. Buatku, Ayah tidak tergantikan, sehingga panggilan Ayah belum bisa kuberikan kepada orang lain.

Om Danu orangnya sangat baik. Begitu baiknya dia hingga aku tidak bisa menganggapnya sebagai Ayah tiri (yang dalam banyak cerita memiliki perangai buruk). Perhatiannya membuatku luluh. Seringkali kami pergi hang out sekedar windows shopping melihat gadget-gadget yang sedang promo. Beberapa kali kami juga makan di resto-resto Korea kegemaranku. Om Danu sudah seperti sahabatku.

Sampai kemudian aku menyadari satu hal tentang Om Danu. Dan itu membuatku resah dan gelisah. Aku mulai sangsi dengan pernikahan Ibu. Mungkin harusnya Ibu tidak menikahinya.

Dan memang saja Ibuku tidak bisa dibohongi. Keresahan dan kegundahanku terbaca olehnya. Ibu mengajakku bicara di kamarnya. Wajahnya agak dingin dan membeku. Ekspresinya datar menahan emosi. Apakah dia akan meledakkan amarahnya atau malah menikamku tanpa berkata-kata. Aku agak gerah dan kepanasan. Kecemasanku terbukti sudah. Ibu melontarkan pertanyaan yang langsung menohok jantungku. Aku tidak bisa menampik lagi.

“Rengga, sejak kapan kamu jadi gila dan bisa-bisanya mencintai Ayahmu?” tanyanya sambil menyodorkan photo mesra kami saat menginap di Puncak.

Dalam hati aku menggerutu, menyesal mengabadikan momen yang paling berharga tersebut.  Rupanya hubunganku dengan Om Danu sudah lebih dari sekedar seorang anak dengan ayah tirinya.



Repost from noboru26.wordpress.com with 371 words. The original text taken from HERE!

No comments:

Post a Comment